Belajar "Pepali Ki Ageng Selo"

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Ki Ageng Selo adalah leluhur Mataram, oleh sebab itu mempeljari ajaran-ajarannya kita dapat memetik akar filosofis kehidupan trah Mataram

Belajar "Pepali Ki Ageng Selo"

Oleh. M. Iqbal Birsyada

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Desa Selo termasuk wilayah yang cukup tua dan banyak memuat nilai-nilai historis khsususnya pada masa Majapahit hingga Mataram Islam. Dalam sejarah perkembangan Islam di tanah Jawa Desa Selo melahirkan banyak tokoh ulama serta menjadi leluhur Raja-Raja Mataram” (Ras, JJ, 1987; Birsyada, 2012; Wasino, 2014). Selo dalam bahasa Jawa artinya “watu” dalam bahasa Indonesia berarti batu. Berdasarkan tradisi lisan masyarakat nama asal kata Selo diambil dari kondisi topografi tanah yang banyak berbatu-batu. Tipe batunya adalah tipe batu kapur karena masih dalam lingkaran kawasan sekitar pegunungan Kendeng. Penduduknya kini sekitar 6000 jiwa.         

            Dalam perspektif sejarah, nama kata Selo dinisbatkan pada salah satu tokoh leluhur raja Mataram Islam yakni Ki Ageng Selo (Syekh Abdur Rohman). Ki Ageng Selo adalah buyut dari Panembahan Senopati (Sutowijoyo Raja Mataram Islam pertama) yang hidup pada masa kerajaan Demak. Menurut penurutan Babad Tanah Jawa, Ki Ageng Selo masih mempunyai trah Majapahit dari Prabu Brawijaya V (Birsyada, 2012; Resi, 2010). Juga masih mempunyai genealogi keturunan dari Syekh Maolana Maghribi dan Dewi Roso Wulan. Nama kecil Ki Ageng Selo adalah Bagus Songgom. Ki Ageng Selo mendapatkan wahyu keprabon atau kerajaan ketika mampu menangkap petir. Tradisi lisan dan penuturab Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa Ki Ageng Selo “Nyepeng Bledeg”. Artinya Ki Ageng Selo menangkap petir. Petir tersebut kemudian dibuat dalam bentuk pintu Bledeg dan di pasang di pintu masuk Masjid Agung Demak. Kini pintu tersebut ada didalam Musium Masjid Agung Demak) (Birsyada, 2012).

            Banyak kearifan lokal yang sampai sekarang masih dianut oleh warga masyarakat Desa Selo kecamatan Tawangharjo Grobogan. Kearifan lokal tersebut baik dari segi budaya maupun erat kaitanya dengan lingkungan. Dari segi budaya dan sosial misalnya. Warga masyarakat Selo masih mempertahankan tradisi dari petuah-petuah Ki Ageng Selo yang masih berlaku hingga saat ini. Makam Ki Ageng Selo banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah Nusantara. Ki Ageng Selo dipercaya termasuk jajaran Wali di luar jumlah Wali Songo. Oleh karena itu ajaranya masih dipegang teguh menjadi kearifan lokal masyarakat Grobogan khususnya. Ajaran tersebut kini terkenal dengan nama sebutan “Pepali Ki Ageng Selo”. Pepali-pepali Ki Ageng Selo akan dijelaskan sebagai berikut.

            Pertama, ojo adol sego (jangan menjual nasi). Petuah ini berasal dari pesan Ki Ageng Selo pada anak cucu dan keluarganya. Pada suatu hari Ki Ageng Selo mendapat tamu dari daerah jauh. Sebagaimana adat dan kebiasaan masyarakat Selo dan Jawa jika ada tamu pastinya akan di suguhi makan dan jajan. Pada saat istri Ki Ageng Selo akan membuat nasi dan ayam bakar yang akan dihidangkan oleh tamu tersebut. Orang tersebut menolaknya dan mengatakan “saya sudah kenyang” dan baru saja “makan”. Setelah cukup bercakap-cakap, pergilah orang tersebut dan pamit kepada Ki Ageng Selo. Setelah tamu tersebut pulang, Ki Ageng Selo hatinya merasa sedih. Hati kecilnya berbicara” mau shodaqoh saja kok sangat sulit, padahal di pasar dan diluar sana banyak orang-orang yang menjual nasi”. Dari sinilah, Ki Ageng Selo berujar pada anak cucunya agar jangan sekali-kali menjual nasi. Dalam Jawa dikatakan, Ojo adol sego. Nasi janganlah dijual, jika bisa malah untuk dishodaqohkan pada yang membutuhkan. Di daerah Selo sampai saat ini tidak ada orang yang menual nasi.

            Kedua, Ojo nandhur  waluh  neng ngarep omah, mundhak nyrimpeti. Suatu hari wilayah Selo ada gempa bumi dan huru-hara. Semua orang lari tunggang langgang untuk menyelamatkan dirinya sendiri-sendiri. Termasuk Ki Ageng Selo yang saat berlari terjatuh karena terserimpet akar pohon waluh (labu) di depan rumahnya. Dari cerita inilah Ki Ageng Selo berujar” ojo nandhur wit waluh neng ngarep omah, mundhak nyrimpeti”. Artinya, janganlah kalian menanam pohon labu didepan rumah supaya tidak tersandung karena akarnya. Sebenarnya ini adalah sanepo atau makna kiasan. Buah kabu itu bentuknya seperti kepala yang besar namun tidak ada isinya. Rumah dikiaskan dengan diri pribadi. Jadi maksud kata ojo nandhur waluh neng ngarep omah, mundhak nyrimpeti bermakna  janganlah kalian semua menjadikan orang-orang bodoh, sombong namun tidak ada ada isinya sebagai temen dekat kamu. Jika orang seperti itu kamu jadikan teman dekat, bisa jadi dia akan menjadi batu sandungan buat dirimu sendiri.

            Ketiga, Aja Agawe Angkuh. Maksudnya adalah janganlah mempunyai sifat sombong. Karena sifat tersebut akan dapat mencelakai diri seseorang. Sebagai manusia haruslah rendah hati, bersikap tawadu’.  Sombong akan membinasakan manusia. Iblis akan dimasukkan dalam Neraka karena sombong, tidak mau bersujud kepada Nabi Adam. Begitu juga Fir’aun, begitu juga umat Nabi Nuh yang tenggelam di air bah, dsb. Keempat, Ojo ladak lan jahil. Maknanya adalah jangan mudah marah dan jahil kepada orang. Kelima, Ojo ati srakah. Maknanya adalah janganlah srakah dalam urusan materiil duniawiah. Keenam, Ojo celimut artinya janganlah panjang tangan. Ketujuh, Ojo mburu aleman artinya jangan memburu pujian dari orang lain. Kedelapan, Ojo ladak, wong ladak pan gelis mati. Maknanya adalah jangan bersikap angkuh, orang angkung akan cepat mati. Kesembilan, Ojo mlaku Ngiwo. Maknanya adalah jangan berbuat yang menyeleweng baik adat maupun norma agama. Kearifan-kearifan lokal di atas selanjutnya dinamai dengan pepali Ki Ageng Selo yang kini dilestarikan menjadi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Grobogan Jawa Tengah.

            Dalam babad Tanah Jawi maupun tradisi lisan di Grobogan disebutkan bahwa Ki Ageng Selo banyak memiliki kekuatan-kekuatan ghoib di luar nalar manusia (karomah) menunjukkan tingkatan ketinggian iman maqom seseorang. Beberapa di antarnya adalah cerita tentang Ki Ageng Selo menangkap petir dalam Jawa Nyepeng Bledeg. Petir ditangkap kemudian diikat di pohon Gandri. Masyarakat sampai sekarang masih menggunakan ungkapan jika ada petir mereka mengatakan “Gandrik anak putune Ki Ageng Selo”. Ungkapan tersebut di ucapkan agar terhindar dari marabahaya sambaran petir.

Keraf (2002:143-160) dalam bukunya berjudul Etika Lingkungan mengemukakan bahwa masalah lingkungan hidup dan kearifan lokal adalah masalah moral manusia, atau pesoalan perilaku manusia. Oleh karena itu, ajaran moral pepali Ki Ageng Selo menjadi sebuah kearifan lokal bagi warga masyarakat Selo Grobogan. Selain dalam hal sosial dan budaya. Masyarakat Selo juga memiliki kearifan lokal lingkungan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhammad Iqbal Birsyada

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Belajar "Pepali Ki Ageng Selo"

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler